Minggu, 10 September 2017

,

The Architecture of Love - Ika Natassa






Judul: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Penyunting: Rosi L. Simamora
Desain Sampul: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua, Juni 2017
304 halaman



Blurb:

People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossibe not to fall in love in the city.

New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron’s You’ve Got Mail hingga Martin Scorsese’s Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai “karakter” yang menghidupkan cerita.

Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.

Raia menjadikan setiap sudut New York “kantor”-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namum bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.

Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah ia duga.


The Architecture of Love bercerita tentang Raia si penulis best seller yang mengejar inspirasi di New York setelah sekian lama nggak bisa nulis lagi. Namun, setelah 69 hari 68 malam di kota sejuta inspirasi itu, Raia belum juga bisa menulis satu kalimat pun. Di malam tahun baru, Raia dipaksa oleh sahabatnya Erin untuk ikut pesta tahun baru, yang Raia sendiri paling males kalau udah diajak ke acara begituan. Apalagi tradisi midnight kissing yang bikin Raia ingin mencekik siapa pun yang pertama kali mencetuskan ide itu. Tapi Raia tetap pergi, kok. Soalnya, kan enggak enak juga nolak permintaan Erin yang dengan senang hati udah nerima Raia di apartemennya selama dua bulan.
Nah, pas detik-detik proklamasi pergantian tahun baru, Raia permisi ke toilet dulu dan sekembalinya dari sana, dia mampir dulu di ruangan sebelah toilet karena kakinya keseleo. Dan tahu apa yang terjadi setelah itu? Dia ketemu cowok misterius yang tatapannya tajam dan panas dingin. Oke, intinya mereka basa-basi singkat, sedangkan si cowok ini cuma ngegambar.
Singkat cerita, Raia ketemu lagi sama cowok misterius itu di Central Park. Awalnya, Raia hanya curi-curi pandang dikit, tapi si cowok yang belum ia ketahui namanya ini udah nyamperin dia. Dan begitulah, mereka jalan bareng, ngobrol dikit, ngopi, dll, dll. Begitu terus sampai berminggu-minggu, dan yang diobrolin kebanyakan tentang gedung karena River—cowok misterius itu—adalah seorang arsitek di Jakarta yang udah berbulan-bulan(atau udah setahun, ya?) “menepi” ke New York dengan alasan... apa hayo? Masa saya spoiler-in? Kan enggak seru.
Selama mereka jalan tiap hari yang udah kayak rutinitas dan ngobrolin tentang gedung(kebanyakan River yang ngoceh, sih), akhirnya Raia tahu kalau selama ini River punya “rahasia”. Lho, apa rahasianya? Rahasianya adalah blablabla. Baca di bukunya, ya.
Oke, sekarang kuy bahas bukunya.
Saya udah lama suka sama kamu pengin baca buku ini karena penasaran sama buku-buku Ika Natassa yang lain. Sebelumnya, saya udah baca Critical Eleven dan sukses dibuat jatuh cinta dengan Anya-Ale, juga gaya menulis Ika itu sendiri. Saya pribadi baru tahu nama Ika Natassa kurang dari setahun yang lalu ketahuan kudetnya, dan langsung menandai nama Ika Natassa sebagai penulis favorit. Dan waktu salah satu teman saya di sekolah bawa buku ini, saya minjem dan langsung baca.
Pertama kali yang menarik perhatian saya dari penampilan fisik buku ini adalah kovernya. Bukan, bukan gambar kover, melainkan kertasnya yang cukup keras, enggak kayak novel-novel paperback yang pernah saya baca. Bahkan, kayaknya yang ini lebih keras dan tebal dari kover Critical Eleven. Saya kurang suka tipe kover seperti ini karena gampang rusak dan agak retak gitu. Tapi, enggak apa-apa lah, masalah kover doang, masa saya jadi subjektif?
Dan kemudian yang paling saya suka dari buku ini, tahu enggak apa? Ilustrasinya. Iya, ilustrasi gedung-gedung yang waktu itu dikunjungin Raia dan River. Pokoknya, saya suka banget karena ilustrasinya memang bagus, juga memudahkan saya untuk ngebayangin gedung-gedung itu sendiri yang namanya bertebaran di sepanjang buku, tanpa saya tahu gimana bentukan aslinya karena saya belum pernah ke New York, dan nge-browsing pun juga males(halah).
Oh ya, saya juga suka banget-nget-nget sama gaya bercerita Ika yang santai tapi page turner parah. Saya masih inget waktu itu kebelet pipis dan udah sampe di halaman terakhir salah satu bab yang agak gantung, dan pas selesai, saya ngintip dua kalimat pertama di bab selanjutnya yang sukses bikin saya keterusan baca dan akhirnya lanjut baca lagi sambil nahan pipis. HAHAHA. Penting banget ini, ye. Tapi beneran, saya senyum-senyum mulu baca interaksi River dan Raia yang kocak-kocak gitu apalagi pas bagian River pengin baca buku Raia, tapi dilarang sama orangnya karena dia bilang apa ayo? Katanya, bukunya agak-agak Enny Arrow. HAHAHA. Itu sumpah saya sakit perut bacanya, apalagi responsnya River juga bikin ketawa. Tapi kadang, saya juga dibikin serius pas baca adegan seriusnya River dan Raia. Kayak, pas bagian “rahasia” River mulai kelihatan dan mereka blablabla. Aduh, ini saya gatel banget pengin ngespoilerin kalian tapi takut dimarahin Ika Natassa. Hahaha, gadeng.
Poin plus lainnya untuk buku ini adalah pendeskripsian tempat-tempat yang mereka kunjungi sangat detail dan berhasil bikin saya serasa lagi di New York, pakai mantel, baju tebal, berjalan sambil ngobrol dengan Raia dan River, ngopi bareng, pokoknya top banget deh, Ika Natassa. Ya, enggak heran juga sih, kalau deskripsinya bagus dan banyak nge-mention gedung dan sejarahnya karena Ika Natassa sendiri sering traveling. Lihat deh, Instagram dan Twitter-nya. Juga, saya selalu dibuat terpukai dengan cerita-cerita dan pelajaran-pelajaran yang sering membuka satu bab, yang berkaitan dengan apa yang dialami atau dipikirkan oleh tokohnya. Itu yang selalu saya tunggu dari bukunya Ika, pelajaran apalagi yang akan saya dapat hari ini. Dan karena ini adalah bukunya Ika Natasaa, of course “Ika”-nya sangat terasa.
Saya nyaris enggak nemuin atau bahkan nggak nemu sama sekali kesalahan dan typo di buku ini, jadi skip aja bahas kesalahannya karena emang enggak ada. Cinta banget sama Ika Natassa.
Ah, iya, hampir aja lupa. Yang bikin saya menyayangkan buku ini adalah pergantian sudut pandang di halaman 146. Jadi, buku ini kan pake sudut pandang orang ketiga, tapi di halaman 146 itu, tiba-tiba aja ganti ke sudut pandang orang pertama. Ya, sebenarnya enggak perlu dipermasalahin banget, tapi saya kurang sreg aja gitu kalau sudut pandangnya enggak konsisten. Itu pun, hanya beberapa halaman, lalu kembali lagi ke PoV tiga. Saya ngerti kok kenapa Ika tiba-tiba pindah sudut pandang, but rasanya saya merasa a little bit kehilangan kemisteriusan dan keunikan River hanya karena dia speaks up.
Di bab-bab mendekati ending, saya ketemu lagi dengan Ale-Anya yang tadaaa... adiknya Aidan udah lahir. Sumpah, saya terharu banget bacanya, dan dibikin kangen Critical Eleven. Terus, Harris sama Keara dari Antologi Rasa lagi nikahan juga di sini ini spoiler bukan sih? eh tapi bodo amat dan acara nikahan inilah yang men-jeng-jeng-jengkan si anu anu ini.
Sekarang saya mau bahas tokohnya, tapi cuma River dan Raia aja ya, takutnya kepanjangan(re: males ngetik).
Yang pertama adalah Bapak Sungai alias River.



Dari awal Raia ketemu River di malam tahun baru itu, saya udah tertarik sama River. Terus, pas dia dengan Raia ngobrol gitu, tambah bikin saya kagum sama Bapak Sungai ini. Saya juga makin penasaran sama River ini karena dia agak misterius gitu, apalagi dengan “rahasia”-nya kan. Seperti Critical Eleven, konflik buku ini pun disembunyiin dulu sebelum akhirnya dikeluarin satu-satu. Saya juga ngerti kesedihan River dan alasannya pergi ke New York. Eh, saya udah bilang belum kalau River selalu pakai kaus kaki hijau, apa pun baju yang dia pakai? Nah, ternyata, kaus kaki hijau itu enggak hanya kaus kaki, ada sejarahnya.
Saya juga gemas sama River yang udah kayak membuka hati gitu buat Raia tapi terlalu takut dan masih dihantui sama masa lalu gitu. Tuh kan, saya jadi ngespoiler. Tapi, enggak bisa juga sih kalau River bergerak cepat gitu, karena dilemanya itulah yang bikin buku ini seru. Di bab-bab terakhir, sama seperti Raia, saya sebeeeel banget sama River. Dia tuh kayak apa, ya, seenaknya. Ya, kalau dilihat dari perspektif Raia ya gitu. Tapi tetap aja, saya sebel.
Tetapi keseluruhan, saya suka banget karakternya River dan pengeksplorasiannya.
Kedua, Ibu Hari Raya alias Raia.



You know what, Raia ke New York enggak cuma buat ngejar inspirasi, tapi ada deh, blablabla. Saya juga simpati banget sama Raia, apalagi kan, dia penulis dan sering diremehin gitu profesinya. Raia ini orangnya santai dan asik gitu, itu yang saya tangkap, apalagi kalau udah sama Erin, hahaha, itu keluar sisi gokilnya. Waktu baca tentang Raia, mau enggak mau saya jadi kebayang Ika Natassa sendiri. Masa lalunya Raia cukup kasihan juga, sih.
Sama seperti River, saya juga gemas banget dengan Raia karena, ya itu tadi. Mereka berdua udah blablabla tapi terlalu berpegang sama masa lalu.
Saya enggak bisa cerita banyak tentang Raia karena takutnya nanti spoiler.
Apa lagi ya, poin plus buku ini? Ah ya, blurb-nya. Menurut saya cukup menarik, dan saya juga tertarik gitu dengan buku yang karakternya penulis, karena ya, seru. Soalnya, saya juga tertarik dengan dunia tulis-menulis.

Oh iya, ini adalah kutipan-kutipan dari buku ini yang saya suka.

People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossibe not to fall in love in the city.
--

Kita memang tidak pernah bisa memastikan kapan kita bisa menerima masa lalu, seberapa jauh pun kita sudah mencoba melangkah ke masa depan
--.
Writing is one of loneliest profession in the world. Ketika sedang menulis, hanya ada sang penulis dengan kertas atau mesin tik atau laptop di depannya, hubungan yang tidak pernah menerima orang ketiga. 
--
Every person has at least one secret that will break your heart. 
-- 
 
Terakhir, saya kasih 4 dari 5 bintang untuk kaus kaki hijaunya River.




Continue reading The Architecture of Love - Ika Natassa