Judul: The
Architecture of Love
Penulis:
Ika Natassa
Penyunting:
Rosi L. Simamora
Desain
Sampul: Ika Natassa
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
kedua, Juni 2017
304 halaman
Blurb:
People
say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title
more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost
impossibe not to fall in love in the city.
New
York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan
setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron’s
You’ve Got Mail hingga Martin Scorsese’s Taxi Driver, New York bahkan bukan
sekadar setting namun tampil sebagai “karakter” yang menghidupkan cerita.
Ke
kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak
mampu menggoreskan satu kalimat pun.
Raia
menjadikan setiap sudut New York “kantor”-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn
sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang
yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan
sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namum bahkan setelah melakukan
itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju
yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai
akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara
berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah ia duga.
The
Architecture of Love bercerita tentang Raia si penulis best seller yang mengejar inspirasi di New York setelah sekian lama
nggak bisa nulis lagi. Namun, setelah 69 hari 68 malam di kota sejuta inspirasi
itu, Raia belum juga bisa menulis satu kalimat pun. Di malam tahun baru, Raia
dipaksa oleh sahabatnya Erin untuk ikut pesta tahun baru, yang Raia sendiri
paling males kalau udah diajak ke acara begituan. Apalagi tradisi midnight kissing yang bikin Raia ingin
mencekik siapa pun yang pertama kali mencetuskan ide itu. Tapi Raia tetap
pergi, kok. Soalnya, kan enggak enak juga nolak permintaan Erin yang dengan
senang hati udah nerima Raia di apartemennya selama dua bulan.
Nah, pas
detik-detik proklamasi pergantian tahun baru, Raia permisi ke toilet
dulu dan sekembalinya dari sana, dia mampir dulu di ruangan sebelah toilet
karena kakinya keseleo. Dan tahu apa yang terjadi setelah itu? Dia ketemu cowok
misterius yang tatapannya tajam dan panas dingin. Oke, intinya mereka
basa-basi singkat, sedangkan si cowok ini cuma ngegambar.
Singkat
cerita, Raia ketemu lagi sama cowok misterius itu di Central Park. Awalnya,
Raia hanya curi-curi pandang dikit, tapi si cowok yang belum ia ketahui namanya
ini udah nyamperin dia. Dan begitulah, mereka jalan bareng, ngobrol dikit,
ngopi, dll, dll. Begitu terus sampai berminggu-minggu, dan yang diobrolin
kebanyakan tentang gedung karena River—cowok misterius itu—adalah seorang
arsitek di Jakarta yang udah berbulan-bulan(atau udah setahun, ya?) “menepi” ke
New York dengan alasan... apa hayo? Masa saya spoiler-in? Kan enggak seru.
Selama
mereka jalan tiap hari yang udah kayak rutinitas dan ngobrolin tentang
gedung(kebanyakan River yang ngoceh, sih), akhirnya Raia tahu kalau selama ini
River punya “rahasia”. Lho, apa rahasianya? Rahasianya adalah blablabla. Baca
di bukunya, ya.
Oke,
sekarang kuy bahas bukunya.
Saya udah lama
suka sama kamu pengin baca buku ini karena penasaran sama buku-buku Ika
Natassa yang lain. Sebelumnya, saya udah baca Critical Eleven dan sukses dibuat jatuh cinta dengan Anya-Ale, juga
gaya menulis Ika itu sendiri. Saya pribadi baru tahu nama Ika Natassa kurang
dari setahun yang lalu ketahuan kudetnya, dan langsung menandai nama Ika
Natassa sebagai penulis favorit. Dan waktu salah satu teman saya di sekolah
bawa buku ini, saya minjem dan langsung baca.
Pertama
kali yang menarik perhatian saya dari penampilan fisik buku ini adalah
kovernya. Bukan, bukan gambar kover, melainkan kertasnya yang cukup keras,
enggak kayak novel-novel paperback
yang pernah saya baca. Bahkan, kayaknya yang ini lebih keras dan tebal dari
kover Critical Eleven. Saya kurang
suka tipe kover seperti ini karena gampang rusak dan agak retak gitu. Tapi,
enggak apa-apa lah, masalah kover doang, masa saya jadi subjektif?
Dan
kemudian yang paling saya suka dari buku ini, tahu enggak apa? Ilustrasinya.
Iya, ilustrasi gedung-gedung yang waktu itu dikunjungin Raia dan River.
Pokoknya, saya suka banget karena ilustrasinya memang bagus, juga memudahkan
saya untuk ngebayangin gedung-gedung itu sendiri yang namanya bertebaran di
sepanjang buku, tanpa saya tahu gimana bentukan aslinya karena saya belum
pernah ke New York, dan nge-browsing
pun juga males(halah).
Oh ya, saya
juga suka banget-nget-nget sama gaya bercerita Ika yang santai tapi page turner parah. Saya masih inget
waktu itu kebelet pipis dan udah sampe di halaman terakhir salah satu bab yang
agak gantung, dan pas selesai, saya ngintip dua kalimat pertama di bab
selanjutnya yang sukses bikin saya keterusan baca dan akhirnya lanjut baca lagi
sambil nahan pipis. HAHAHA. Penting banget ini, ye. Tapi beneran, saya
senyum-senyum mulu baca interaksi River dan Raia yang kocak-kocak gitu apalagi
pas bagian River pengin baca buku Raia, tapi dilarang sama orangnya karena dia
bilang apa ayo? Katanya, bukunya agak-agak Enny Arrow. HAHAHA. Itu sumpah saya
sakit perut bacanya, apalagi responsnya River juga bikin ketawa. Tapi kadang,
saya juga dibikin serius pas baca adegan seriusnya River dan Raia. Kayak, pas
bagian “rahasia” River mulai kelihatan dan mereka blablabla. Aduh, ini saya
gatel banget pengin ngespoilerin kalian tapi takut dimarahin Ika Natassa.
Hahaha, gadeng.
Poin plus
lainnya untuk buku ini adalah pendeskripsian tempat-tempat yang mereka kunjungi
sangat detail dan berhasil bikin saya serasa lagi di New York, pakai mantel,
baju tebal, berjalan sambil ngobrol dengan Raia dan River, ngopi bareng,
pokoknya top banget deh, Ika Natassa. Ya, enggak heran juga sih, kalau
deskripsinya bagus dan banyak nge-mention
gedung dan sejarahnya karena Ika Natassa sendiri sering traveling. Lihat deh, Instagram dan Twitter-nya. Juga, saya selalu
dibuat terpukai dengan cerita-cerita dan pelajaran-pelajaran yang sering
membuka satu bab, yang berkaitan dengan apa yang dialami atau dipikirkan oleh
tokohnya. Itu yang selalu saya tunggu dari bukunya Ika, pelajaran apalagi yang
akan saya dapat hari ini. Dan karena ini adalah bukunya Ika Natasaa, of course “Ika”-nya sangat terasa.
Saya nyaris
enggak nemuin atau bahkan nggak nemu sama sekali kesalahan dan typo di buku ini, jadi skip aja bahas kesalahannya karena emang
enggak ada. Cinta banget sama Ika Natassa.
Ah, iya,
hampir aja lupa. Yang bikin saya menyayangkan buku ini adalah pergantian sudut
pandang di halaman 146. Jadi, buku ini kan pake sudut pandang orang ketiga,
tapi di halaman 146 itu, tiba-tiba aja ganti ke sudut pandang orang pertama.
Ya, sebenarnya enggak perlu dipermasalahin banget, tapi saya kurang sreg aja
gitu kalau sudut pandangnya enggak konsisten. Itu pun, hanya beberapa halaman,
lalu kembali lagi ke PoV tiga. Saya ngerti kok kenapa Ika tiba-tiba pindah
sudut pandang, but rasanya saya
merasa a little bit kehilangan
kemisteriusan dan keunikan River hanya karena dia speaks up.
Di bab-bab
mendekati ending, saya ketemu lagi
dengan Ale-Anya yang tadaaa... adiknya Aidan udah lahir. Sumpah, saya terharu
banget bacanya, dan dibikin kangen Critical
Eleven. Terus, Harris sama Keara dari Antologi
Rasa lagi nikahan juga di sini ini spoiler bukan sih? eh tapi bodo amat
dan acara nikahan inilah yang men-jeng-jeng-jengkan si anu anu ini.
Sekarang
saya mau bahas tokohnya, tapi cuma River dan Raia aja ya, takutnya
kepanjangan(re: males ngetik).
Yang
pertama adalah Bapak Sungai alias River.
Dari awal
Raia ketemu River di malam tahun baru itu, saya udah tertarik sama River.
Terus, pas dia dengan Raia ngobrol gitu, tambah bikin saya kagum sama Bapak
Sungai ini. Saya juga makin penasaran sama River ini karena dia agak misterius
gitu, apalagi dengan “rahasia”-nya kan. Seperti Critical Eleven, konflik buku ini pun disembunyiin dulu sebelum
akhirnya dikeluarin satu-satu. Saya juga ngerti kesedihan River dan alasannya
pergi ke New York. Eh, saya udah bilang belum kalau River selalu pakai kaus
kaki hijau, apa pun baju yang dia pakai? Nah, ternyata, kaus kaki hijau itu
enggak hanya kaus kaki, ada sejarahnya.
Saya juga
gemas sama River yang udah kayak membuka hati gitu buat Raia tapi terlalu takut
dan masih dihantui sama masa lalu gitu. Tuh kan, saya jadi ngespoiler. Tapi,
enggak bisa juga sih kalau River bergerak cepat gitu, karena dilemanya itulah
yang bikin buku ini seru. Di bab-bab terakhir, sama seperti Raia, saya sebeeeel
banget sama River. Dia tuh kayak apa, ya, seenaknya. Ya, kalau dilihat dari
perspektif Raia ya gitu. Tapi tetap aja, saya sebel.
Tetapi
keseluruhan, saya suka banget karakternya River dan pengeksplorasiannya.
Kedua, Ibu
Hari Raya alias Raia.
You know what, Raia ke New York enggak cuma buat
ngejar inspirasi, tapi ada deh, blablabla. Saya juga simpati banget sama
Raia, apalagi kan, dia penulis dan sering diremehin gitu profesinya. Raia ini
orangnya santai dan asik gitu, itu yang saya tangkap, apalagi kalau udah sama
Erin, hahaha, itu keluar sisi gokilnya. Waktu baca tentang Raia, mau enggak mau
saya jadi kebayang Ika Natassa sendiri. Masa lalunya Raia cukup kasihan juga,
sih.
Sama
seperti River, saya juga gemas banget dengan Raia karena, ya itu tadi. Mereka
berdua udah blablabla tapi terlalu berpegang sama masa lalu.
Saya enggak
bisa cerita banyak tentang Raia karena takutnya nanti spoiler.
Apa lagi
ya, poin plus buku ini? Ah ya, blurb-nya. Menurut saya cukup menarik, dan saya
juga tertarik gitu dengan buku yang karakternya penulis, karena ya, seru.
Soalnya, saya juga tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Oh iya, ini adalah kutipan-kutipan dari buku ini yang saya suka.
People
say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title
more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost
impossibe not to fall in love in the city.
--
Kita memang tidak pernah bisa memastikan kapan kita bisa
menerima masa lalu, seberapa jauh pun kita sudah mencoba melangkah ke masa
depan
--.
Writing is one of loneliest profession in the world. Ketika
sedang menulis, hanya ada sang penulis dengan kertas atau mesin tik atau laptop
di depannya, hubungan yang tidak pernah menerima orang ketiga.
--
Every person has at least one secret that will break
your heart.
--



